Kisah Banjir Martapoera 1937, Terburuk Era Kolonial

Kisah Banjir Martapoera 1937, Terburuk Era Kolonial

Oleh : Mansyur (Dosen Sejarah FKIP ULM)

KABUPATEN Banjar adalah satu diantara 11 Kabupaten di Kalimantan Selatan yang terkena dampak besar banjir di awal tahun 2021. Bahkan Presiden Joko Widodo pun langsung meninjau lokasi terdampak banjir di daerah ini. Satu daerah tujuannya di Kelurahan Pekauman, Kecamatan Martapura Timur, Kabupaten Banjar. Jokowi menegaskan bahwa ini merupakan banjir bandang pertama setelah 50 tahun terakhir di Kalimantan bagian selatan ini.

Kepanikan warga terjadi saat luapan air sungai perlahan-lahan merendam jalan utama penghubung dari Banjarmasin, Martapura, hingga Hulu Sungai. Tingginya genangan hampir menyentuh atap rumah warga. Jembatan pun banyak yang rusak akibat banjir ini. Akses penghubung Banjarmasin-Martapura dan enam Kabupaten lainnya nyaris lumpuh.

Kejadian ini sebenarnya merupakan banjir besar keempat yang melanda Martapura dalam catatan sejarah banua. Cuma kali ini spasialnya lebih luas. Sebelumnya pada era Orde Lama, 28 Maret 1953, banjir besar juga pernah terjadi di 3 kecamatan yakni Martapura, Pengaron dan Karang Intan. Amir Hasan Bondan, dalam Suluh Sedjarah Kalimantan (1953) menganggap inilah banjir terbesar selama delapan tahun terakhir, setelah kemerdekaan 1945. Banjir besar terjadi setelah momen dua bulan sebelumnya Presiden Soekarno berkunjung ke Banjarmasin, 25 Januari 1953. Sayang data tentang banjir di dekade ini minim.

Banjir besar sebelumnya terjadi di wilayah Martapura adalah masa kolonial Belanda, yakni tahun 1937 dan tahun 1932.  Dari tiga banjir besar sebelum tahun 2021, banjir tahun 1937 menjadi air bah terbesar di wilayah yang dulunya bernama Afdeeling Martapoera ini.

Wajar kemudian menjadi konsumsi pemberitaan besar di koran koran ternama Hindia Belanda hingga Negara Belanda. Tingkat banjir di Martapoera adalah 3,6 meter di atas rekor ketinggian tahun 1932 yang hanya mencapai satu meter. Bahkan pegawai pemerintahan Hindia Belanda, Dr. A. Hammarskjold di Martapura, juga menjadi korban (meninggal dunia) karena banjir. Demikian diberitakan koran de Nederlander, edisi 8 Juli 1937.

Dari catatan harian ternama Hindia Belanda lainnya, Algemeen Handelsblad (edisi 9 Juli 1937) wilayah Martapura terkena dampak air bah berdebit tinggi. Banjir tersebut terjadi selama dua hari, 6 dan 7 Juli tahun 1937. Bandjir ini mencapai 360 centimeter (3,6 meter) pada titik tertinggi. Melampaui rekor pada tahun 1932 yang mencapai sekitar 100 centimeter (1 meter). Mulai terjadi lewat tengah malam, yakni sekitar pukul satu malam tanggal 6 Juli, saat Sungai Riam Kanan mulai meluap ke daerah sekitarnya.

Koran ternama Hindia Belanda lainnya, De Tijd edisi 9 Juli 1937 tidak ketinggalan mengabarkan bandjir yang terjadi di Afdeeling Martapoera memporak-porandakan banyak kampung. Rumah penduduk banyak yang hanyut tersapu banjir. Tercatat, mulai kampung Soengei Alang 71 rumah hanyut dan 21 orang meninggal dunia. Kepala kampung (pambakal) dan keluarganya hilang. Kemudian di Kampung Mandikapau 17 rumah menjadi korban, disusul Soengei Asam 7 rumah terbawa banjir. Sementara di Kampung Palangpangkal 36 rumah hanyut, Kampung Tiwingan 7 buah rumah larut hingga Kampung Astamboel sebanyak 12 rumah tersapu banjir.

Demikian juga di lokasi kampung lainnya yakni Kampung Tambak Anyar, Kampung Ujung Murung serta Kampung Bintjau (Bincau) rusak berat. Puluhan rumah juga terbawa aliran air bah. Beberapa daerah yang rusak terkena dampak banjir bahkan tidak bisa dijangkau. Pada ketiga kampung ini diperkirakan sebanyak 150 rumah telah hanyut terbawa banjir. Daerah terdampak lainnya seperti Kampung Karangintan (Karang Intan), Malei-Malei (Mali Mali) dan Pinarang belum bisa diakses karena tingginya banjir. Namun upaya untuk membongkar keterisolasian terus dilakukan pemerintah kolonial saat itu. Selain kampung yang telah tercatat, beberapa kampung lain juga rusak parah, namun di sini jumlah korban belum terdata. Puluhan rumah hanyut sehingga pintu salah satu polder (kanal) di Martapura pun akhirnya harus dibuka.

Bukan hanya merusak rumah penduduk, banjir juga mengakibatkan semua sambungan telegraf dan telepon dari Banjarmasin-Hulu Sungai terputus. Sementara Jalan Pos (sekarang Jalan Ahmad Yani) bahkan terputus di sepuluh tempat. Jalan ini hancur total sejauh 500 meter. Sementara air tergenang di badan jalan dan jalan pun tidak bisa dilalui sepanjang 5 kilometer. Demikian diberitakan Harian Bredasche Courant, edisi 17 Juli 1937.

Bagaimana dengan kondisi Kota Martapura? Koran De Limburger (edisi 08 Juli 1937) mencatat pada hari pertama banjir (6 Juli 1937) di wilayah kota Martapoera, telah jatuh korban dua orang tenggelam dan rumah-rumah hancur di beberapa tempat. Air bah naik hingga ketinggian satu meter (100 cm) di atas alun-alun (sekarang area Taman Cahaya Bumi Selamat, Martapura). Demikian halnya di kawasan perbelanjaan (pasar) Martapoera. Ketinggian debit airnya bervariasi. Cuma tidak ada yang di bawah satu meter. Bahkan pada kawasan pertokoan di Martapoera airnya setinggi pintu depan toko. Banjir besar ini juga berdampak pada bangunan lain seperti jembatan. Sebuah jembatan besi di area Kota Martapura pun miring. Bahkan jembatan Stamboel (Astambul sekarang) tersapu seluruhnya oleh derasnya banjir.

Koresponden harian Nieuwe Apeldoornsche Courant edisi 23-07-1937 bahkan membuat sebuah artikel tentang detik detik terjadinya banjir bandang di Martapura. Pada Rabu dini hari tanggal 6 Juli, ketika suatu penduduk masih terlelap, akibat hujan lebat di pedalaman, debit sungai Riam Kanan mulai meningkat dan meluap ke daerah sekitarnya. Dari Sungai Riam Kanan air bah mengaliri hingga Sungai Martapura dan memporak porandakan wilayah sekitarnya.

Dengan kekuatan air masif dibarengi kenaikan ketinggian membuat penduduk tidak mampu bertahan. Air mengalir dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, melewati aliran anak sungai yang agak sempit di sekitar Sungai Riam Kanan. Air bandang menyeret segala sesuatu di sekitarnya, sehingga tidak ada lagi pemukiman (kampung) yang aman. Aliran sungai membawa banyak kayu berat yang terapung di badan sungai. Menyusuri sungai dengan kecepatan tinggi, menerjang jembatan di atas Sungai Martapura. Lalu lintas Bandjermasin dengan daerah pedalaman putus, terhambat total, yang berdampak pada perdagangan. Dampak kerusakan akibat banjir belum terdata, namun diperkirakan tidak kecil, terutama padi yang baru ditanam petani menghilang terbawa bah.

Untungnya banjir besar di Martapura tahun 1937, hanya berlangsung dua hari. Pasca banjir, Kampung Sei Alang pun surut hingga 7 meter ke sungai, namun kampung tersebut masih belum bebas air. Lalu lintas telepon dan telegraf antara Bandjermasin dan Hulu Soengei telah pulih dan disambungkan kembali. Namun, lalu lintas darat (Jalan Pos) ternyata tetap tidak memungkinkan dilalui hingga dua minggu kemudian, 20 Juli 1937. Demikian dituliskan Koran Bataviaasch nieuwsblad, edisi 19 Juli 1937 dan Harian Deli Courant edisi 8 Juli 1937.

Koresponden Harian Arnhemsche Courant, edisi 08 Juli 1937 berkesimpulan, bahwa banjir Martapoera sungguh suatu peristiwa besar. Memberikan pembelajaran kepada penduduk bahwa dengan kondisi geografis Afdeeling Martapoera, yang terletak di daerah aliran Sungai Martapura, tempat bertemunya Sungai Riam Kiwa dan Riam Kanan, keberadaan banjir atau bah patut diwaspadai. Diperlukan peran serta pemerintah kolonial era itu untuk membangun tanggul pengaman maupun kanal (folder) di wikayah yang terletak sekitar 30 kilometer sebelah timur Banjarmasin ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.