Antasan Bromo & Memori Sebuah Kapal Keruk

Antasan Bromo & Memori Sebuah Kapal Keruk

Oleh : Mansyur (Dosen Sejarah FKIP ULM)

MENJELANG peresmian, Senin (4/1), keberadaan Jembatan Antasan Bromo seakan menjadi magnet baru wagi warga Banjarmasin. Belakangan ini kawasan Jembatan Antasan Bromo selalu dipadati pengunjung, baik dari warga sekitar maupun luar kota Banjarmasin. Tergugah rasa penasaran, ingin berswafoto hingga ikut mengais rezeki dari keberadaan ikon baru Kota Seribu Sungai. Tidak sedikit dari warga setempat yang turut mendirikan lapak berjualan di kawasan ekowisata Jembatan Antasan Pulau Bromo.

 

Bahkan, karena membludaknya pengunjung, sebelum diresmikan, kawasan ekowisata jembatan antasan bromo ditutup untuk masyarakat umum. Hal itu dilakukan sebagai langkah antisipasi agar tidak terjadi kerusakan, sebelum jembatan tersebut diresmikan maupun antisipasi pandemi covid-19.

 

Terlepas dari keunikan desain jembatan gantung yang membentang dari Kampung Ujung Benteng, Kelurahan Mantuil menuju Jalan Halimau, Kelurahan Mantuil, Banjarmasin ini, wilayah Antasan Bromo yang kemudian hari diikuti munculnya nama Pulau Bromo, memiliki sejarah panjang. Ya, Jembatan panjang bentangnya sekitar 164.05 meter ini memiliki nama unik.

 

Masyarakat setempat yang menamakannya Jembatan Antasan Bromo, maupun Jembatan Pulau Bromo. Nama Bromo yang membuat penasaran. Toponim yang tidak pernah dijumpai dalam nama nama kampung di seantero Kota Banjarmasin.

 

Secara administratif, dilansir Banjarmasin post edisi 5 November 2019, Pulau Bromo adalah salah satu pulau di Wilayah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pulau dengan jumlah penduduk 1.250 jiwa dari 750 KK yang diapit antara Sungai Martapura dan Sungai Barito. Memiliki empat RT yaitu 04, 05, 06, dan 07 di Kelurahan Mantuil, Kecamatan Banjarmasin Selatan. Profesi warga Pulau Bromo lebih banyak sebagai petani dan buruh bangunan. Sebelum dibangunnya jembatan gantung, akses menuju ke Pulau Bromo melalui penyeberangan kapal ferry sekitar 30 menit.

 

Dalam tinjauan historis catatan keberadaan Antasan Bromo, memang minim. Dalam sumber sumber kolonial, nama Antasan Bromo bahkan nihil, karena antasan ini baru dibuat (dikeruk) setelah masa kemerdekaan yakni pada tahun 1960 sebagai penunjang jalur aktivitas pelayaran dan perdagangan Pelabuhan Banjarmasin. Eksis era Orde Lama, di masa pemerintahan Presiden Soekarno.

 

Pada kurun waktu ini, Pelabuhan Martapura Lama yang lazim juga disebut Pelabuhan Banjarmasin berada di penghujung “kejayaan”nya. Dalam buku “Kalimantan Selatan 1963-1968”, dipaparkan bahwa kondisi geografis di sekitar wilayah pelabuhan, khususnya di sepanjang sungai Martapura sejak dari muaranya di sungai Barito hingga ke kompleks pelabuhan, menyebabkan kapal-kapal besar mengalami kesulitan untuk memasuki pelabuhan. Hal ini disebabkan karena alur sungai Martapura yang sempit dan berkelok-kelok serta semakin padatnya pemukiman penduduk di kedua tepian sungai.

 

Untuk mempersingkat jarak menuju pelabuhan (Martapura Lama) dan menghindari kelokan sungai yang tajam, pada tahun 1960 dibuat sebuah terusan yang menghubungkan Sungai Barito dengan Sungai Martapura. Terusan diberi nama Antasan Bromo. Antasan atau terusan/kanal ini sangat bermanfaat bagi kelancaran lalu lintas keluar masuk sungai Barito. Dengan adanya Antasan Bromo, maka jarak pelayaran dari Sungai Barito menuju pelabuhan (Martapura Lama) berkurang sekitar seperempat jam.

 

Pengerukan Antasan Bromo ini, sebenarnya menandai dan mengiringi rencana pembangunan Pelabuhan Baru. Setahun kemudian yakni 1961 mulai dibangun pelabuhan baru yang lebih moderen dengan mengambil lokasi di Sungai Barito. Pelabuhan baru itu selesai pembangunannya pada tahun 1965 dan diberi nama pelabuhan Trisakti. Sejak pelabuhan Trisakti mulai dioperasikan, pelabuhan Martapura hanya digunakan untuk aktivitas pelayaran lokal dan pelayaran rakyat, sedangkan pelabuhan Trisakti untuk pelayaran nusantara dan perlayaran samudera. Pelabuhan Trisakti diresmikan 10 September 1965 oleh Wakil Perdana Menteri II, Dr. Leimena.

 

Terusan atau antasan Bromo ini sangat bermanfaat menghubungkan perpindahan kapal di pelabuhan (martapura Lama) dan pelabuhan baru (Trisakti) manakala diperlukan untuk mengatasi kekurangan tempat untuk tambatan kapal. Menunjang pengaturan lalu lintas dan keamanan kapal kapal keluar masuk di Muara Sungai Mantuil ditempatkan sebuah pos penjagaan. Menjelang selesainya pembangunan pelabuhan baru (Trisakti) di Sungai Barito, tepatnya sejak Bulan September 1964, pos ini dipindahkan ke komplek pelabuhan baru (Trisakti). Tetapi di sekitar tahun 1968, dipindahkan pula ke Pos Terusan/Antasan Bromo.

 

Hal yang sama juga dituliskan dalam Indonesian Shipping Directory, yang terbit tahun 1974. Dikemukakan bahwa pada tahun 1960-1961, dibangun sebuah kanal pendek yang dikenal dengan kanal Bromo sepanjang 500 meter dengan kedalaman 6 meter, dibuka untuk menghubungkan antara Sungai Barito dan Sungai Martapura.

 

Sementara dari data Ports of the World terbitan Lloyd’s of London Press (1982), dalam perkembangannya ternyata Antasan/Terusan Bromo mengalami penyempitan. Dari data ini mengetengahkan bahwa sebuah kanal bernama Terusan Bromo antara Sungai Martapura dan Barito sangat menunjang operasi keluar masuk kapal ke pelabuhan Banjarmasin. Panjang kanal ini 431 meter, kemudian lebar 100 meter, serta kedalaman hanya 5 meter.

 

Mengapa disebut atau dinamakan dengan Antasan Bromo? Penamaan Antasan umumnya diberikan dari istilah dalam Suku Banjar yakni antasan, atau tempat mahantas (jalan pintas). Menurut riset Bambang Subiyakto (2005) antasan merupakan saluran menghubungkan antara dua jalur air. Biasanya antar sungai, namun ada juga yang menghubungkan antara sungai dan danau. Dalam hal ini antasan lebih mempunyai kemiripan atau sama dengan anjir. Anjir biasa juga disebut antasan. Menunjukan bahwa orang Banjar benar-benar mempunyai kebudayaannya sendiri dalam hal kanal.

 

Ada perbedaan kasus dengan Antasan Bromo. Walaupun statusnya berupa antasan, akan tetapi digali dengan teknologi baru era itu. Bukan teknologi tradisional. Karena itu dalam beberapa istilah, tidak hanya disebut dengan antasan, tetai terdapat peneristilahan lain yakni kanal atau Terusan Bromo.

 

Mengapa namanya Bromo, bukan istilah atau penamaan lain yang mencerminkan bahasa lokal (Bahasa Banjar)? menjawabnya, tentu bukan melihat dari kacamata kekinian tapi dari persfektif jiwa jaman era itu. Kalau ditelusuri berdasarkan cerita sejarah dan legenda bahwasanya Gunung Bromo berasal dari nama Brahma yaitu Gunung yang dianggap Suci oleh masyarakat Suku Tengger di Jawa Timur. Kemudian masyarakat setempat menyebutnya Gunung Bromo, satu diantara nama gunung berapi aktif di Tanah Jawa.

 

Terdapat alasan (dugaan) mengapa wilayah ini dinamakan dengan Terusan Bromo. Lokasinya Antasan Bromo kalau dibandingkan dengan lokasi yang sama dalam Peta Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, September 1916, terdapat dua sungai kecil yakni Sungai Saka Benteng dan Sungai Saka Ketjil yang merupakan anak Sungai Barito. Dari kedua sungai inilah kemudian pada tahun 1960-1961, digali menjadi terusan sehingga menghubungan antara Sungai Martapura dan Sungai Barito.

 

Dalam Peta Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en Omliggend Terrein, September 1916, sebenarnya lokasi Pulau Bromo saat ini, pada masa Hindia Belanda sudah memiliki pemukiman berpola linier yang mengikuti jalur Sungai Martapura menuju arah muara Schans van Thuijl. Sementara di area sekitar pembukaan Antasan Bromo memang belum berpenghuni.

 

Setelah pengerukan antasan, wilayah ini seakan akan menyerupai pulau (menjadi semacam delta) sehingga muncullah Penamaan Pulau Bromo. Dari keterangan masyarakat setempat, daerah tersebut dulu bernama Pulau Benteng yang penduduknya sangat jarang. Hal ini sangat dimungkinkan, karena sejak masa Hindia Belanda (Peta 1916) sudah ada nama sungai bernama Sungai (Saka) Benteng di area itu.

 

Menjelang selesainya pembukaan antasan ini tahun 1960-1961, diperbantukan Kapal Keruk bernama Bromo untuk menambah kedalamannya. Kapal Keruk ini sebelumnya dibeli dan didatangkan ke Indonesia pada tahun 1952 oleh Pemerintah Orde Lama. Menjadi bagian fasilitas Pelabuhan Nusantara I areal pelabuhan Tanjung Priok yang ditetapkan sebagai Perusahaan Negara.

 

Pembelian Kapal kapal keruk memang selalu menjadi prioritas pemerintah Orde Lama di Indonesia. Bahkan dituangkan dalam peraturan perundangan seperti Kepres RI No. 108 tahun 1961. Kemudian perusahaan negara saat ini memang bertugas yakni pengerukan alur-alur pelayaran, kolam pelabuhan dan lokasi lain yang memerlukan jasa keruk. Totalnya Pelabuhan Tanjung Priok memiliki 11 Kapal Keruk yakni Bromo, Semeru II, Singgalang, Tambora X, dan sebagainya yang umumnya menggunakan nama kapal mengabadikan nama nama gunung yang ada di wilayah Indonesia.

 

Dari beberapa kapal keruk milik Pelabuhan Tanjung Priok, Kapal Keruk Bromo yang “bertugas” beroperasi di Banjarmasin. Menurut masyarakat setempat, kapal ini kerap sandar di sekitar lokasi pengerukan, sehingga akhirnya masyarakat mengenal nama terusan/antasan ini sebagai Antasan Bromo. Belum didapatkan data lain, misalnya apakah ada keputusan resmi pemerintah terkait penamaan antasan ini dan sebagainya.

 

Pembangunan Antasan Bromo berdampak besar bagi geliat ekonomi di Kota Banjamasin. Terbukanya antasan diikuti berdirinya beberapa pabrik di sekitarnya. Diantaranya pada tahun 1972 mulai berproduksi pabrik kayu lapis pertama di Kalimantan Selatan, PT. Hendratna Plywood. Lokasi pabrik ini di tepi Sungai Barito, berdampingan Antasan Bromo sebagai terusan yang dikeruk sehingga mempertemukan Sungai Martapura dengan Sungai Barito. Posisi di tepi sungai cukup strategis sehingga bahan baku kayu bulat dari hutan dapat langsung dikumpulkan di log pond (tempat pengumpulan kayu di air) pada area samping pabrik.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.