Jejak Sejarah Kanal Banjarmasin Era Kolonial (1)
MUSIBAH banjir yang melanda area Kota Banjarmasin di awal 2021 menjadi pemantik kesadaran warga memelihara sungai. Pemerintah Kota Banjarmasin yang dinakhodai Ibnu Sina pun turun tangan. Diantaranya membentuk Satgas Normalisasi Sungai dan Pengendalian Banjir. Satgas ini terdiri dari Pemerintah Kota Banjarmasin, TNI/Polri, DPRD Kota Banjarmasin, unsur Akademisi, Praktisi, serta masyarakat.
Diharapkan satgas ini dapat mengoptimalkan kinerja normalisasi sungai dan pengendalian banjir sehingga tidak terjadi lagi musibah banjir berikutnya. Sejak dibentuk, sekitar 181 titik yang berupa Jembatan Bangunan Gedung (JBG) menjadi objek normalisasi oleh Satgas Normalisasi Sungai. Objek JBG ini dinilai menghambat aliran sungai, sehingga perlu penataan hingga pembongkaran.
Dari beberapa kajian, banjir memang mengintai Kota Banjarmasin. Akibat rendahnya posisi Banjarmasin dari permukaan laut, tahun 2010 tercatat 0,530 kilometer luas daratan Banjarmasin hilang terendam air. Kemudian tahun 2050 diprediksi daratan yang hilang seitar 1.039 kilometer. Menyusul tahun 2100 diprediksi 2.581 kilometer juga akan menyusul hilang. Karena itulah, diperlukan kajian dan masukan dalam upaya mengantisipasi hilangnya daratan terendam air. Terutama dari perspektif urban histories.
Kota Banjarmasin pada era Hindia Belanda tahun 1919, menjadi salah satu dari 10 kota gemeente yang dikembangkan pemerintahan kolonial. Kota Banjarmasin yang juga bergelar Venesia Dari Timur (Venetie van het Oostern) berkembang pada tepi sungai Barito (Sungai Banjar Besar) dan dibelah oleh anak sungainya (Sungai Martapura/Sungai Banjar Kecil) menjadi dua bagian. Sejumlah anak sungai juga bermuara kepada kedua sungai ini.
Kusliansyah (2012) dalam kajiannya menuturkan, kelandaian sebagian permukaan kontur tanah menyebabkan bentuk aliran sungai berliku-liku dari hulu hingga ke hilirnya. Hal ini secara fisik-spasial memengaruhi pembentukan lingkungan binaan baik arsitektur maupun perkembangan arsitektur kotanya. Kondisi fisik kota berada 0,16 meter di bawah permuka air laut, mengakibatkan pasang laut masuk membanjiri kawasan kota. Khususnya menjadi rutin pada kawasan tepian sungai. Upaya mengatasi permasalahan ini sudah tercatat sejak lama pada peta kota tahun 1700-1945.
Banjarmasin mulai dikembangkan sebagai kota kanal sejak tahun 1890 an, pada era Residen Kroesen memimpin Banjarmasin. Kanal sebagai elemen dari parit kota mulai dibangun. Tujuannya mempercepat dan memperlancar air sungai. Wijanarka (2009) menambahkan sejumlah kanal dibangun dan diantaranya ada 10 kanal ditempatkan di kawasan pusat kota, yang merupakan sodetan pada lekukan sungai atau meluruskan aliran sungai. Dari 10 kanal tersebut, ditemukan 5 tipe ragam kanal yang dikembangkan pada pusat Kota Banjarmasin. Hal ini menyebabkan perkembangan pesat pola fisik maupun sosial.
Kanal-kanal di kota Banjarmasin awalnya berfungsi ganda, selain untuk kepentingan pertanian sekaligus sebagai prasarana transportasi, juga sebagai penampung dan penyalur air pada saat pasang, sehingga dapat mengurangi luapan air serta menghindari banjir. Bahkan kanal juga berfungsi sebagai perlindungan untuk kepentingan pertahanan yang dibangun mengelilingi benteng sebagaimana terdapat pada Benteng Tatas, yang di bekas lokasinya kini berdiri Masjid Sabilal Muhtadin.
Wijanarka (2009) juga memaparkan pada era pemerintahan kolonial yang terdapat pada 10 lokasi dalam 5 tipologis kanal, yaitu Kanal Benteng/Kanal Tatas, Kanal Sutoyo/Kanal Teluk Dalam, Kanal Pirih/Antasan Bondan, Kanal Raden/Antasan Raden. Kemudian Kanal Jafri Zamzam-Anjir Mulawarman, Kanal Pangambangan, Kanal Veteran/Pacinan, Kanal A.Yani/ Ulin, Kanal Bilu/Kuripan, serta Kanal Awang.
HJ Schophuys, ahli hidrologi asal Belanda menyebutkan pula bahwa Urang Banjar sebenarnya telah memiliki kemampuan membuat kanal-kanal untuk kepentingan pertanian pasang surut secara tradisional. Di masa itu Schophuys justru belajar dari urang Banjar. Schophuys mengatakan Urang Banjar mampu membuat saluran air yang panjangnya puluhan kilometer hanya dengan tangan selama bertahun-tahun. Karena itulah ahli Belanda ini juga meniru cara itu selama 40 tahun ketika membuka lahan.
Bambang Subiyakto (2005) berpendapat, sebelum era colonial, sedikitnya masyarakat Banjar mengenal tiga macam kanal. Pertama, Anjir (ada juga yang menyebutnya Antasan) yakni semacam saluran primer yang menghubungkan antara dua sungai. Anjir berfungsi untuk kepentingan umum dengan titik berat sebagai sistem irigasi pertanian dan sarana transfortasi.
Kemudian terdapat Handil (ada juga yang menyebut Tatah) yakni semacam saluran yang muaranya di sungai atau di Anjir. Handil dibuat untuk menyalurkan air ke lahan pertanian daerah daratan. Handil ukurannya lebih kecil dari Anjir dan merupakan milik kelompok atau bubuhan tertentu.
Selanjutnya terdapat saka merupakan saluran tersier untuk menyalurkan air yang biasanya diambil dari Handil. Saluran ini berukuran lebih kecil dari Handil dan merupakan milik keluarga atau pribadi. Anjir, Handil dan Saka mempunyai fungsi utama sebagai irigasi pertanian dalam arti luas dan prasarana transfortasi ke berbagai daerah
Hasil riset Karyadi Kusliansyah (2012), mkonteks lingkungan tanah basah ini yang setiap hari dipengaruhi oleh pasut akibat hidrodinamika masa air sungai Barito ke laut Jawa, yang berdampak pula pada pasang-surut sungai- sungai cabangnya seperti sungai Martapura, sungai Kuin, sungai Alalak dll hingga sebagian di pedalaman Kalimantan. Mengatasi ini Belanda membangun jalan diantara dua sungai dengan meninggikan tanah dari hasil menggali parit di sisi jalan. Memanfaatkan kearifan lokal masyarakat Banjar dalam membuat kanal seperti Anjir, Handil dan Saka. Seperti Delta Tatas di kendalikan oleh beberapa kanal (sekarang dikenal sebagai kanal Benteng Tatas, kanal Sutoyo dan Kanal Zamzam).
Selain itu, pemerintah kolonial Belanda juga mengendalikan dan memperpendek jarak capai transportasi air di sungai Martapura dengan memotong lekukan sungai dengan membangun beberapa kanal /antasan, seperti Antasan Pirih, Antasan Raden dan Pengambangan. (bersambung)