Oleh : Mansyur, M.Hum. (Komunitas Palalah Banjarmasin)
Pamor wilayah Distrik Negara sebagai “pusat perbesian” pada dasawarsa terakhir Abad ke-19, makin bersinar. Karena itulah setiap keperluan besi penduduk di Karesidenan Borneo (Kalimantan) bagian Selatan dan Timur selalu memesan ke Distrik yang sebelumnya menjadi daerah Kesultanan Banjar ini. Memantik peneliti kolonial untuk meneliti wilayah Daerah Aliran sungai Negara. Mencari gambaran visual sebuah keunikan dari belahan Bumi bagian timur yang masih belum tersentuh.
Satu diantaranya F. Grabowsky. Peneliti asal Jerman ini tercatat mengunjungi wilayah Negara, pada 4 Mei 1882. Grabowsky kemudian membuat catatan harian khusus berjudul Negara, Industriezentrum in Sudost-Borneo (Negara, Sentra Industri di Borneo bagian selatan dan timur). Catatan harian ini dipublikasikan di Globus edisi 55, tujuh tahun kemudian tepatnya tahun 1889. Pada saat berkunjung ke wilayah Onderafdeeling Amandit & Negara, Grabowsky didampingi seorang pejabat Belanda dari Kandangan.
Grabowsky memaparkan banyak fakta tentang pandai besi di negara serta produknya. Dalam catatan hariannya diawali paparan tentang wilayah Negara terletak di wilayah berlawanan dengan Benteng Belanda di Marabahan. Negara ada di sekitar anak sungai terbesar dari Barito di sebelah kiri, yakni Sungai Negara atau Sungai Bahan, yang mengalir ke Amuntai. Dapat dilayari dengan kapal uap sungai berukuran kecil. Air mengalir di dataran rendah berawa, membentuk sebuah danau.
Pada area dataran rendah ini, di tepi Sungai Bahan, setelah berjam-jam menumpang kapal, akan menemukan sebuah wilayah “kota” dengan rumah-rumah panggung, berpenduduk sekitar 10.000 orang. Bernama Negara, dihuni masyarakat Melayu Muslim. Penduduk setempat menyebut diri mereka orang “Negara”.
Orang Negara menghasilkan banyak produk industri, seperti senjata, bejana kuningan dan tanah liat, ukiran kayu hingga perahu yang dipakai pelaut dan pedagang yang tersebar di seluruh nusantara. Bangunan tempat tinggal dihubungkan jembatan penyeberangan panjang (titian) dengan bengkel (tempat menempa besi) yang langsung didirikan di atas sungai. Rumah-rumah dibangun bersebelahan. Pada area pertemuan Sungai Batang Alai dengan Sungai Bahan berdiri missigit (Masjid). Sebuah bangunan kayu kecil, dengan kondisi kurang permanen. Terdapat beberapa distrik di Negara di bawah pimpinan seorang kyai, maupun kampung yang dipimpin kepala kampung atau pambakals.
Saat Grabowsky menumpang perahu, berkeliling wilayah Nagara, ternyata suasanya tidak sunyi senyap seperti desa-desa umumnya. Dari jauh, kerap terdengar suara palu dari industri pandai besi dan ini menjadi pemandangan biasa dimana mana. Dalam perjalanan Grabowsky ini, selain diiringi pejabat Belanda juga didampingi Kyai, yang disebut Grabowsky sebagai orang hebat, penuh sopan santun. Sang Kyai berpakaian/setelan haji yang pernah ke Mekkah mengiringi perjalanan berkeliling bengkel (tempat penempaan besi) di Negara.
Mereka mengunjungi tempat pembakaran kapur. Kemudian dilanjutkan lokasi penempaan besi. Tukangnya disebut dengan pandei’s (pandai/pandei). Tempat penempaan besi didirikan di atas sungai sekitar 2 meter tingginya dari permukaan, menggunakan model atap pelana dilengkapi dinding. Pandai besi duduk di koridor, dimana tungku dibakar dengan arang (dari kayu blangiran).
Pandai besi bisa menempa dengan palu besar sambil duduk. Grabowskty juga mengunjungi seorang pandai besi yang bekerja menggunakan “katjip’s“, penjepit besi kecil. Tidak ketinggalan mengunjungi seorang pandai besi yang terkenal sebagai penempa pedang Damaskus di Negara. Grabowsky pun memesan sebuah belati pada pandai yang tidak dituliskan namanya ini. Belati diolah dengan bahan sepotong besi Damaskus (besi pamor), yang berasal dari Sulawesi, yang panjangnya sekitar 6 inci.
Pembuatan senjata api di wilayah Negara hampir tidak beroperasi lagi pada era itu. Menurut Grabowsky, antara lain karena Pemerintah Hindia Belanda selama Perang Banjar (tahun 1859-1863-versi Belanda) melarang pembuatan senjata. Selain itu senjata-senjata ala Eropa memang bisa didapatkan dengan harga murah di Kalimantan. Mengenai senjata ini menurut Grabowsky bisa dilihat dalam sebuah laporan yang dibuat tahun 1842 oleh Kapten Hendriks. Laporan Hendrik ini bisa ditelusuri berjudul “Iets over de wapenfabricatie op Borneo”, dalam Verbandelingen van bet Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscbappen, XVIII, 1842, hlm. 1-30.
Pada saat berlangsungnya Perang Banjar (1859-1863) papar Grabowsky, wilayah Negara berada di bawah kekuasaan Sultan Banjarmasin. Sultan memberdayakan sekitar 200 tukang pembuat senjata. Hasil produksinya beragam yakni berbagai jenis senjata, bergaya Eropa maupun model asli atau lokal. Mereka dibagi ke dalam kelas-kelas atau kelompok tertentu dengan spesialisasi. Beberapa diantaranya bertugas hanya membuat laras hingga membuat kunci senapan.
Tukang lainnya membuat perlengkapan tembaga atau perak untuk senjata tersebut. Jika Sultan Banjar meminta dibuatkan senjata, mereka wajib bekerja secara sukarela. Sultan menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Sebagai timbal balik para pekerja dibebaskan dari pajak. Pada sisi lain, sultan akan memotong 1/10 dari nilai ekspor senjata sebagai bea ekspor, jika ada penjualan ke daerah lain.
Selain itu sejumlah besar pemahat kayu dipekerjakan untuk membuat aksesoris senjata. Tujuannya membuat dan mengukir popor senjata dengan ornamen menarik. Menghasilkan ukiran kayu yang bagus dan tahan lama. Item senjata dipernis dengan pernis biasa, atau dengan pernis yang populer era itu, jenis lacquer yang diimpor dari Palembang. Penyepuhan dilakukan dengan rapi.
Menurut Grabowsky, selain menjadi pandai besi, orang Negara ada juga yang berprofesi lain yakni sebagai pembuat perahu. Diantaranya membuat perahu naga yang sangat mirip dengan gondola Venesia, hanya saja ukurannya lebih panjang dan dilengkapi dengan atap pelindung matahari. Kemudian industri penting lainnya di Negara adalah kerajinan tembikar. Uniknya para pekerja pembuat tembikar maupun yang terlibat perdagangan hanya kaum wanita tua. Mereka disebut tukang kwantan. Semua peralatan tembikar sangat murah dan dibuat dalam jumlah besar.
Berikutnya orang Negara juga bermata pencaharian lain yakni sebagai pedagang. Mereka mendistribusikan barang yang dibuat di Negara, ke beberapa wilayah lain di luar Borneo. Beberapa orang Negara bahkan berdomisili di daerah lain yang menjadi pusat perdagangan utama nusantara, baik sifatnya singkat maupun dalam jangka waktu lama. Ada yang menetap permanen dan ada juga yang kemudian kembali ke Negara.
Dalam bidang pertanian, orang Negara menanam padi di tempat-tempat “tinggi” untuk budidaya lahan basah. Kemudian menangkap ikan, karena kondisi geografis daerah tersebut cukup mendukung, yakni berupa danau besar. Ikan tangkapan dikemas dengan garam dan dikeringkan di bawah sinar matahari. Selain itu, kawanan ternak kerbau rawa dalam jumlah besar juga dapat dilihat di wilayah ini. Digembalakan dengan menaiki satu perahu yang cukup sempit tetapi berukuran panjang.
Menurut Lasley Potter dalam artikelnya Banjarese and Beyond Hulu Sungai, South Kalimantan (1993), daerah Negara adalah daerah yang berorientasi kota dengan bisnis ekonomi industri yang sangat produktif pada zamannya. Selanjutnya ia menyatakan Daerah-daerah rawa, yang lebih berorientasi kota, sangat terkenal bagi para pedagang dan tukang mereka. Kota Negara sangat terkenal dengan segala jenis senjata, dari pistol sampai meriam, keduanya bagi keraton Sultan dan bagi tujuan perdaga-ngan. Sebuah laporan sejak awal tahun 1840-an menyebutkan 70 orang terlibat dalam perdagangan senjata di bawah pengawasan raja, dari penduduk 10 ribu orang jumlahnya.
Distrik Negara menjadi sentral perdagangan di Banua Lima. Sokongan hasil sumber daya alam dari kawasan-kawasan Banua Lima lainnya, umumnya dibawa ke kawasan Negara sebagai tempat berkumpulnya para pedagang. Baik dari kawasan Sungai Tabalong, Sungai Alai, Sungai Banar, Sungai Amandit dan sungai lainnya. Umumnya, pedagang-pedagang dari Banjarmasin, Margasari dan Marabahan juga menambatkan perahunya di kawasan Negara.