Merdeka !

Merdeka !
(maknanews.com) ilustrasi

Oleh Almin Hatta

DULU, di tahun 60-an hingga awal 70-an, anak-anak memaknai kemerdekaan adalah sebuah pasar malam. Kala itu, bila memasuki bulan Agustus yang merupakan bulan di mana bangsa Indonesia lepas dari cengkeraman penjajahan, maka di kota-kota kecil semacam kota kecamatan selalu diadakan pasar malam.

Di pasar malam tersebut segala macam kebutuhan dijual orang. Juga ada panggung hiburan dengan penyanyi centil yang didatangkan dari kota kabupaten atau provinsi. Juga ada stand yang berbau judi. Pokoknya ramai bukan kepalang, kesusahan hidup pun terlupakan, meski cuma dalam beberapa malam.

Pada dekade yang sama, anak-anak juga memaknai kemerdekaan dalam bentuk pasukan bambu runcing dengan tubuh dan kepala dibalut aneka rumputan. Pokoknya gagah berani bagaikan pasukan perang, siap menerjang musuh di depan, meski pasukan penjajah sudah lama hengkang.

Masih pada dekade yang sama, anak-anak memaknai kemerdekaan dengan barisan obor menerangi gelapnya jalan malam. Terangnya obor ini seakan menyeruak jauh ke depan, ke masa datang yang gemilang, entah kapan.

Belakangan, pasar malam sudah tak pernah lagi diadakan. Soalnya pasar malam sudah kehilangan pamornya, dikalahkan pasar swalayan, mall, dan plaza. Pasukan bambu runcing pun sudah dilupakan, sebab anak-anak sekarang lebih suka bermain tembak-tembakkan dengan senapan otomatis di dunia maya. Arak-arakan obor juga sudah jarang dilakukan, sebab cahayanya kalah terang oleh sinar listrik yang benderang.

Lalu, sudahkah kita semua benar-benar merdeka? Dalam banyak hal, kita semua tentu telah benar-benar merdeka. Misalnya, negara kita telah bebas dari belenggu penjajah durjana yang mengisap kekayaan alam Indonesia, meski sekarang kekayaan alam kita dikangkangi segelintir orang saja.

Kita juga sudah merdeka dalam bepergian ke mana suka, asalkan ada ongkosnya. Masalahnya, biaya transportasi masih cukup mahal, sehingga tak semua orang bisa melanglang buana.

Kita juga merdeka dalam menempuh pendidikan, setidaknya sampai jenjang SLTA yang digratiskan. Masalahnya, dunia kerja sekarang kebanyakan mengharuskan ijazah sarjana. Padahal hanya sebagian kecil generasi muda kita yang mampu menjadi mahasiswa, lantaran terbatasnya jumlah perguruan tinggi dan biayanya pun masih kelewat tinggi.

Di dunia orang dewasa pun demikian pula. Kalau dulu setiap pagi dan petang orang-orang duduk-duduk santai di warung tepi jalan sambil memandang sawah yang menguning membentang sejauh mata memandang, kini kebanyakan orang pagi-pagi sudah berangkat kerja dan baru pulang menjelang malam. Artinya, kebanyakan orang tak sepenuhnya merdeka, sebab hampir sepanjang waktunya tersita untuk mendapatkan uang guna membayar biaya kehidupan yang sedemikian mahalnya.

Jadi, sejatinya, kita belum sepenuhnya merdeka. Tapi tak apa. Tak perlu berkeluh-kesah, tak usah nelangsa. Jalani saja. Sebab, setidaknya, kita masih bebas meneriakkan kata “Merdeka …!”***

 

 

 

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.