Oleh: Almin Hatta
KETIKA pulang ke kampung kelahiran sekitar sebulan lalu, aku menyempatkan mampir ke rumah salah seorang bekas guruku sewaktu di SMP puluhan tahun silam.
Rupanya beliau sedang siap-siap berangkat haji, bahkan malam itu di rumah beliau diadakan acara syukuran.
Karena itu, selain mengenang masa-masa di SMP dulu, pembicaraan kami pun banyak menyangkut ibadah haji.
Aku pun tak lupa mendoakan, agar ibadah haji beliau mabrur.
Mendengar itu, beliau spontan bertanya, “Kamu tahu apa yang dimaksud haji mabrur itu?”
Ditanya begitu rupa dan secara mendadak pula, aku tentu saja kelabakan. Untunglah beliau sendiri segera melanjutkan. “Tanda-tanda orang yang hajinya mabrur itu antara lain, segala tingkah lakunya sepulang dari Tanah Suci jauh lebih baik dari sebelumnya,” ujarnya.
Sepulang dari rumah guru itu, aku coba mengingat-ingat siapa gerangan orang yang kukenal yang segala tingkah lakunya berubah secara signifikan sepulang haji.
Setelah beberapa lama, aku akhirnya ingat seorang tua bernama Suraid. Beliau ini, ketika aku masih di SD hingga SMP puluhan tahun lalu, sering mampir di toko ayahku. Beliau sangat piawai bicara soal agama. Tapi, anehnya, beliau terang-terangan mengaku tak pernah mengerjakan shalat.
Setelah dewasa, dan sesekali pulang ke kampung halaman sana, aku tak pernah lagi melihat Pak Suraid ini. Lazimnya orang pulang kampung, aku juga kerap menanyakan si A, si B, dan lain-lain, kepada teman-teman lama yang kebetulan berjumpa. Nah, suatu hari beberapa tahun lalu, aku bertanya kepada teman lama tentang Pak Suraid ini.
“Pak Suraid yang punya toko di kampung ulu itu, Pak Suraid yang dulu termasuk orang pernama di kampung kita punya sepeda motor itu?” jawab teman tersebut.
“Ya.”
“Beliau sudah lama menutup tokonya. Beliau tak lagi berdagang, juga tak lagi suka jalan-jalan lalu mampir di toko siapa saja untuk ngobrol dari pagi sampai petang. Beliau sudah lama menjadi kaum (petugas) di Masjid Jami.”
Teman itu menceritakan, suatu ketika belasan tahun silam, Pak Suraid berangkat haji. “Sepulang menunaikan ibadah haji itulah beliau kemudian menutup toko, dan siang-malam di Masjid Jami saja. Beliau membantu mengerjakan apa saja di masjid itu. Kalau tak ada pekerjaan, beliau shalat atau membacara Al-qur’an,” ujarnya.
Jujur saja, sejak mendengar cerita teman itu aku tak pernah berjumpa dengan Pak Suraid ini. Aku juga tak tahu apakah beliau masih hidup hingga hari ini. Tapi dalam hati aku selalu mengingat beliau dengan panggilan Pak Haji Mabrur Suraid.***