TAMAN BUDAYA KALSEL, QUO VADIS?

Oleh: Halim HD. – Networker-Organizer Kebudayaan
-o0o-

Pada tahun 1980-an awal gagasan tentang ruang publik kebudayaan yang akan dikelola oleh pemerintah akan diwujudkan. Gagasan itu merupakan kelanjutan dari proyek uji coba yang dianggap berhasil di Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, yang menjadi pilot project pengembangan senibudaya lokal, yang digarap sejak tahun 1967-68 dan awal 1970-an. Tahun 1982, tiga daerah tersebut menjadi perintis dari wujud Taman Budaya (TB). Dua tahun kemudian beberapa daerah melanjutkan program ruang publik kebudayaan, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sumatera Utara. Pada setiap antara dua tahun bermunculan TB di setiap provinsi. Gagasan pemerintah pada periode rezim Orde Baru mendirikan TB disetiap provinsi merupakan upaya rezim Orde Baru untuk membuat proyek “tandingan” seiring berkembangnya Dewan Kesenian (DK) di berbagai daerah-kota di Indonesia. Jika DK-DK diberbagai daerah-kota menjadi ajang bagi kaum seniman untuk berkumpul dan menciptakan peristiwa kesenian, maka TB-TB di provinsi dirumuskan dalam programnya untuk menjadi bukan hanya ruang publik, tapi juga laboratorium pengembangan senibudaya daerah masing-masing.

Dalam konteks itulah TB-TB memiliki peranan penting untuk menciptakan dinamika dan proses pelacakan kepada berbagai khasanah senibudaya yang ada di sekitaranya. Hasil dari proyek pelacakan dan pengembangan dalam wujud konservasi dan revitalisasi senibudaya disajikan kehadapan publik. Berkaitan dengan hal inilah maka posisi dan fungsi TB-TB di daerah begitu penting, sebagai imbangan bagi DK-DK yang memiliki kecenderungan untuk menyajikan kesenian jenis moderen dan kontemporer. Seiring dengan program konservasi, pelacakan dan revitalisasi itu, maka TB-TB menyelenggarakan Temu TB se Indonesia setiap dua tahun, sebagai presentasi dan sekaligus evaluasi hasil dari pengembangan senibudaya lokal masing-masing. Pada peristiwa Temu TB se Indodnesia ini kita bisa menyaksikan fokus program dan sekligus juga presentasi tata kelola berkaitan dengan proses pengembangan, konservasi dan usaha untuk menjadikan TB sebagai ruang publik.
Dinamika TB-TB diberbagai daerah sangat kuat kaitannya dengan siapa yang berada dibalik instansi itu. Kata siapa bukan hanya mengandaikan tapi mewujudkan kaitan kuat antara figur manajerial TB dalam hubungannya dengan tata kelola. Kasus di Jawa Tengah yang TB-nya berlokasi di Solo, Sumatera Barat di Padang, Bali di Denpasar serta TB Jatim di Surabaya dan TB Daerah Istimewa Yogyakarta di Yogyakarta, menjadi bukti dari dinamika dan wujud TB yang dianggap berhasil menciptakan bukan hanya menyajikan dan mengembangkan khasanah seni budaya lokal, tapi juga sistem manajemen, suatu tata kelola yang terbuka dan bisa menciptakan mekanisme relasi sosial yang baik. Dalam konteks inilah kita melihat kaitan kuat antara figur dengan kompetensi. Menjadi pimpinan TB merupakan posisi bergengsi dihadapan kaum seniman dan pelaku kebudayaan. Pada sisi lainnya, posisi itu juga membawa instansi yang dikelolanya menjadi ukuran bagi suatu daerah yang dianggap berhasil mengembangkan khasanah lokal serta potensi-potensi lokal sebagai inspirasi bagi pengembanggan karya senibudaya ke dalam wujud tradisi baru yang kuat kaitannya dengan bobot kemoderenan. Disinilah kita menyaksikan visi suatu tata kelola yang memiliki bobot pemikiran berdasarkan hasil diskusi, dialog dan riset serta rumusan ke dalam program kerja masing-masing TB.
Kasus TB di Jawa Tengah, Sumatera Barat, Bali dan DI-Yogyakarta merupakan kasus yang paling menonjol. Tentu saja juga ada TB yang pada tahun 1990-an hadir dan menjadi bagian dari imbangan peristiwa senibudaya, seperti TB-NTB di Mataram dan TB-Jambi di Jambi. Satu tambahan, ada kasus yang menarik, Taman Budaya & Museum (TBM) Sulawesi Barat yang baru beberapa tahun diresmikan setelah selama beberapa tahun sebelumnya mengalami stagnasi mampu dan bisa hadir sebagai instansi yang tata kelolanya terbuka dan kuat relasi sosialnya, hadir mendinamisir kehidupan khasanah tradisi dengan dukungan komunitas senibudaya.

Lalu bagaimana dengan TB-TB lainnya, yang secara keseluruhana di Indonesia memiliki 30-an TB? Dari pengamatan di lapangan yang saya ketahui, tak semua TB bisa melakukan tata kelola berkaitan dengan kekurangan SDM yang memadai. Pada sisi lainnya, pendekatan birokratis yang begitu kuat membuat banyak TB terbelenggu oleh mekanisme dirinya yang tak sigap dan tak tanggap terhadap berbagai gagasan yang datang dari kaum seniman tradisi. Ketidakpekaan pengelola TB menjadi masalah utama. Dari hal itu, maka riset, pendataan hanya sekedar di atas kertas, yang hasilnya hanya menunjukan suatu acara yang cenderung seremonial dan artifisial. Ironi dari berbagai TB yang mengeluh kekurangan SDM namun tak terbuka sistem tata kelolanya dan malah bersembunyi ke dalam birokratisasi, membuat TB-TB menjadi makin berjarak dengan pelaku kebudayaan, kaum seniman dan komunitas senibudaya, yang semestinya justeeru harus menjadi modal sosial yang sangat potensial dan aktual dalam pengelolaan TB.

Masalah yang dihadapi TB makin berlanjut ketika otonomi daerah (otoda) yang justeru bukan mengembangkan instansi yang ada di daerahnya, malah menjadikan TB sebagai sekedar “pelengkap penderita” dalam mekanisme birokrasi: TB hanya dijadikan sejenis tempat pembuangan akhir (TPA), ruang kaum pra-pensiun yang didongkrak posisinya menjadi kepala unit pelaksana teknis daerah (UPTD), hanya sekedar untuk menduduki posisi yang tak dikuasai secara manajerial. Disinilah kita melihat kondisi kemerosotan TB yang makin kelam: dikelola oleh figur yang tak memahami tata kelola senibudaya, dan diiringi oleh sikap birokratis yang hanya bisa menunggu instruksi. Hal itu berbeda dengan kasus beberapa TB yang saya sebutkan di atas yang berhasil membentuk instansinya melalui relasi sosial yang bagus serta de-birokratisasi yang ikut melibatkan pelaku kebudayaan dan kaum seniman serta pengamat ke dalam program.

Lintasan ulasan tentang TB-TB pada masa lampau dan membandingkan dengan TB-TB masa kini, maka pertanyaan kita: bagaimana dengan TB Kalsel? Adakah TB Kalsel masih memiliki prinsip sebagai ruang publik kebudayaan? Apakah tata kelola TB Kalsel melibatkan kaum seniman dan pelaku kebudayaan? Sejauh mana program disusun secara berkala berdasarkan kebutuhan dari hasil riset, konservasi serta revitalisasi khasanah senibudaya yang ada di Kalsel? Jika TB Kalsel pada periode 1990-an bisa menciptakan denyut dan dinamika senibudaya di wilayahnya, dan bahkan mengangkat khasanah itu ke tingkat nasional, maka pertanyaan kita berlanjut: dengan sarana yang lebih baik dibandingkan ketika TB Kalsel tahun 1990-an, apakah TB-Kalsel sekarang lebih mampu menciptakan gairah kehidupan senibudaya di daerahnya? Ataukah TB Kalsel makin masuk ke dalam sistem birokratis dan tak memiliki kepekaan kepada kebutuhan kehidupan seni budaya? Jadi, mari kita bertanya: TB Kalsel, Quo Vadis? TB Kalsel mau (dibawa) ke mana? -o0o-

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.