‘Agaman Rista’ Korban Estetika

Editor : Almin Hatta

BANJARMASIN – Lewat karya berjudul “Agaman Rista”, seniman Barikin menyampaikan kegetiran menjaga kesenian tradisi warisan leluhur.

Agaman Rista masih bisa diputar di kanal Youtube Taman Budaya Kalsel dengan judul “Lulungkang Matjus, Hari Kedua”, tepatnya pada menit 14.22-24.45. Tayang pertama kali pada 29 April 2021 lalu dalam perayaan Hari Tari Dunia (HTD) 2021.

Dibanding dengan 12 karya lainnya, garapan Sanggar Ading Bastari dari Desa Barikin, Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, itu paling lirih dan sarat emosional. Dengan balutan sinema yang serius, Agaman Rista menawarkan rasa baru menikmati tarian. 

Iringan musiknya pilu. Juga adegan-adegannya. Anak-anak Barikin tengah menyelesaikan pembuatan alat musik tradisional dan menari-nari di sisi sebuah balai yang reot. Di antara mereka hadir sosok bertopeng berbaju hitam. Pertengahan muncul tulisan “Korban Estetika” digotong salah satu anak Barikin, diarak. 

Adegan juga digambar di tepi jalan lintas provinsi di Barikin itu. Ekspresi pelintas jalan yang tidak dibuat-buat saat melihat penari Ading Bastari sedang syuting, memberi kesan tersendiri. 

Penutup, sosok bertopeng itu pun pamit. Naik motor matic, anak Barikin melepas dengan mengibarkan bendera merah putih.

Koreografer Agaman Rista, Sarmila Sarbaini atau Cia menerangkan, garapan itu diangkat dari puisi ayahnya, AW Sarbaini, berjudul Agaman Rista Anoman, yang masuk dalam Bunga Rampai Aruh Sastra 2011. Kegetiran dalam puisi itu dinilai relevan dengan keadaan pekerja seni Barikin belakangan ini. 

Agaman Rista itu sendiri, kata Cia, berasal dari bahasa Banjar lama, khususnya di wilayah Hulu Sungai. Agaman itu semacam pegangan atau amanah, sedangkan Rista berarti kesedihan, kesengsaraan, dan sejenisnya. Maknanya, penderitaan pada beban atau amanah yang dipegang. Bagi seniman di Barikin, kesenian tradisional bukan sekadar media hiburan, melainkan kumpulan nilai-nilai.

“Sekarang menjadi korban estetika,” ujar Cia, Rabu (28/7/2021).

Sebagaimana diketahui, Barikin dikenal sebagai kampungnya kesenian tradisional. Beragam kesenian dijaga turun-temurun.

Menurut Cia, Barikin bahkan merupakan situs penyebaran kesenian di Kalimantan Selatan. “Seiring berjalannya waktu, dapat dikatakan terlupakan dan bahkan ditinggalkan,” katanya.




Koreografi Lingkungan

Cia menangkap kegelisahan, ketakutan, pemberontakan, kesedihan, juga kepedihan, dalam puisi mendiang ayahnya itu. “Amanah harus tetap dipegang dan dilaksanakan,” ucapnya.

Beberapa esensi dalam puisi tersebut pun ditafsir Cia dalam gerak lirih, tersentak, mengalir, tertahan. Ia pun menyusun eksplorasi gerak visual dengan pendekatan koreografi lingkungan dan unsur-unsur sinematik.

“Koreografi lingkungan adalah karya yang menyerap potensi-potensi alam sekitar untuk memperkaya pertunjukkan,” terang Cia.

Metode itu dinilai Cia sangat tepat digunakan sebagai media penyampaian karya Agaman Rista. Mengingat, keadaan masyarakat Barikin yang dekat dengan alam.

“Proses kesenimanan orang Barikin dekat dengan alam. Berproses di pekarangan rumah, di jalan, dan di persawahan,” pungkasnya.[]

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.