Tambang Liring; Jimat Pengasih Orang Banjar

Tambang Liring; Jimat Pengasih Orang Banjar
Ilustrasi gambar; Bagir Zubair

Jimat Tambang Liring dipercaya mempunyai kekuatan magis. Diduga, sumber kekuatan itu berasal dari darah orang yang mati terbunuh.

Oleh : M Ali Nafiah Noor

Seorang pemuda desa, sebut saja Ijun (bukan nama sebenarnya), pernah jatuh hati pada seorang dara rebutan. Karena fisik yang dianggap kurang sempurna, Ijun mengalami penolakan. Ia merasa terhina dan sakit hati.

 

Kejadian itu dialami Ijun pada sekitaran 1990-an. Menuluskan hasrat hati, Ijun kemudian mengambil jalan pintas. Pada suatu malam, ia menyalakan dupa kemenyan di rumahnya. Sebuah jimat terbungkus kain kuning berbentung seperti bantal kecil ia ayunkan di atas kemenyan. Jimat itu seakan bergoyang sendiri seiring mantera yang diucapkannya.

 

Beberapa waktu setelah ia melakukan itu, ijun melihat perubahan pada sikap gadis idaman padanya. Sang gadis berbalik jatuh hati. Karena terlanjur sakit hati, Ijun hanya membiarkan sang gadis mengharapkannya.

 

Ijun mengaku, jimat yang ia gunakan ialah Tambang Liring. Begitu bungkusan kain kuning itu ia buka, nampak selembar kertas yang terlipat-lipat. Di atasnya terlukis sejumlah tokoh wayang beserta punakawan, binatang-binatang mitologi, beraneka simbol, serta tulisan atau rajah menggunkan aksara Arab gundul (melayu). Ijun mengatakan, warna merah yang digunakan pada sejumlah gambar diambil dari darah orang yang mati terbunuh. Menurut pengakuan Ijun, Jimat itu ia dapatkan dari orangtuanya.

 

Jimat Tambang liring merupakan salah satu benda yang dipercaya oleh orang Banjar memiliki tuah magis. Diduga, tuah magis pada Tambang Liring berasal dari penggunaan tinta yang diambil dari darah orang yang mati terbunuh itu. Pada bentuk terdahulu, Jimat tambang liring tidak menggunakan kertas sebagai media lukisnya, melainkan kulit hewan seperti wayang kulit.

 

Deskripsi Gambar

Nah, kapan pertama kali jimat ini muncul masih belum diketahui waktu pastinya. Para ahli masih mengira, proses terbentuknya jimat ini seiring masuknya agama Islam ke tanah Banjar. Pendapat ini didasari atas bercampurnya unsur-unsur budaya dan agama terdahulu dengan Islam yang ada di Jimat Tambang Liring. Sebab, di Jimat Tambang Liring sendiri juga termuat tulisan Basmalah dan dua kalimat syahadat.

 

Jimat Tambang Liring nampak memiliki kaitan yang kuat dengan kesenian wayang kulit Banjar. Mengingat, adanya gambar karakter dalam cerita wayang di dalam Jimat ini. Selain itu, wayang kulit merupakan salah satu kesenian yang digunakan sebagai media syiar Islam.

 

Sejarawan senior Kalsel Idwar Saleh menjelaskan, dalam pembuatan wayang (menatah) terdapat beberapa proses mistik. Penatah akan mengadakan selamatan khalarat segantang nasi ketan, berupa nasi belamak yang memakai inti gula merah lalu dibacakan doa-doa arwah untuk wayang-wayang tersebut jika pembuatan wayang sudah selesai.

 

“Terutama bagi yang menggunakan darah, rambut dan kulit manusia yang mati terbunuh, agar tidak menuntut nyawa dan tidak mengganggu lagi (mamingit),” tulisnya dalam Wayang Banjar dan Gamelannya 1984.

 

Lebih lanjut, Idwar menjelaskan, jauh sebelum Perang Duia II, kulit binatang yang akan dipakai untuk membuat karakter wayang semar diambil dari kulit menjangan atau sapi dari bagian punggung tengah atas. Ketika kulit masih basah, di atasnya ditempeli dengan kulit manusia atau bubuk kulit manusia mati terbunuh. Inilah kulit bagian muka semar. Rambutnya pun terbuat dari rambut manusia mati terbunuh yang dibuat sebagai kuncirnya semar.

 

Bagian-bagian tubuh semar yang harus diberi warna merah juga tak berasal dari cat merah biasa, tapi dari warna merah asal darah manusia yang mati terbunuh seperti halnya menggunakan tinta wapak jimat Tambang Liring.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *