BANJARMASIN – Pertunjukan itu berlangsung cepat. Hanya sekitar sepuluh menit durasinya. Tapi di atas panggung Gedung Balairungsari, IB Production dari Banjarbaru menghadirkan sesuatu yang tidak secepat itu untuk dicerna. Karya mereka bertajuk Gurunum menjadi salah satu penampil dalam Aruh Teater Kalimantan Selatan 2025. Pementasan ini digelar pada Kamis (17/4) siang—waktu yang biasanya lengang, tapi justru diisi dengan letupan energi kreatif yang intens.
Di bawah arahan sutradara Jam’ie, Gurunum tampil sebagai karya yang berani dan menyentil. Ia tidak menyuguhkan cerita yang mengalir indah atau penuh dramatisasi. Sebaliknya, pertunjukan ini lugas, terkadang sengaja kasar, seolah ingin memaksa penonton menghadapi kenyataan yang tak selalu nyaman.
Makna gurunum sendiri dalam bahasa Banjar merujuk pada “omelan yang dikeluarkan dengan pelan.” Sebuah bentuk ekspresi yang tidak selalu keras, tapi seringkali lebih menyakitkan karena dituturkan setengah hati, penuh sindiran, atau bahkan dengan nada malas. Dari makna itu, pertunjukan ini mengangkat realitas yang dihadapi para pelaku teater: cibiran dan omelan pelan yang bisa datang dari mana saja—penonton, sesama seniman, bahkan diri sendiri.
Namun Gurunum tidak berhenti di situ. Pertunjukan ini juga menyuarakan kegelisahan yang lebih struktural: tentang sulitnya fasilitas yang didapatkan pelaku seni. Keluh kesah tentang ruang latihan yang sempit, keterbatasan akses ke gedung pertunjukan, kurangnya dukungan dari lembaga atau pemerintah—semuanya disisipkan dalam adegan-adegan singkat, dengan dialog yang terdengar seperti potongan realitas yang diambil langsung dari keseharian para seniman.
Panggung dibuka tanpa pengantar. Para aktor langsung melontarkan dialog, pernyataan, dan gerakan yang membentuk potret tentang proses kreatif yang penuh tekanan. Suara-suara dalam kepala, komentar yang tertinggal dari pertunjukan sebelumnya, tuntutan untuk “selalu berbeda” atau “lebih baik dari kemarin”—semuanya dihadirkan dalam bentuk teatrikal yang singkat namun tajam. Dan di sela-sela itu, muncul keluhan tentang kursi yang rusak, panggung yang licin, atau biaya produksi yang nyaris tak terjangkau—hal-hal teknis yang sering kali menjadi hambatan nyata bagi pelaku teater.
Yang menarik dari Gurunum adalah bagaimana ia tidak meledak-ledak. Justru seperti namanya, energi pertunjukan ini mengalir pelan. Tapi justru dalam kepelanannya itu, ia menjadi seperti bisikan yang meresap. Penonton tidak diberi kesempatan untuk menertawakan atau bersantai. Mereka diajak masuk ke ruang batin yang sunyi tapi penuh gemuruh.
Jam’ie sebagai sutradara memilih pendekatan non-naratif. Tidak ada tokoh utama, tidak ada klimaks yang mencolok. Gurunum dibangun dari fragmen-fragmen realitas—dari latihan teater yang melelahkan, obrolan antarpemain yang getir, hingga suara-suara batin yang menyelip di balik tirai panggung. Format ini membuat pertunjukan terasa seperti potongan ingatan yang disusun ulang, menantang penonton untuk menemukan maknanya sendiri.
Durasi sepuluh menit terasa seperti jendela kecil ke dalam dunia yang kompleks. Namun dalam waktu sesingkat itu, Gurunum berhasil menunjukkan betapa dalam dan personalnya dunia seni peran. Bahwa kreativitas sering lahir dari kegelisahan, dan omelan pelan—yang mungkin terdengar sepele—bisa membentuk atau bahkan mengguncang jalan seorang seniman.
Ketika lampu panggung padam dan para aktor meninggalkan panggung tanpa aba-aba, ruang terasa hening sesaat. Tepuk tangan kemudian menyusul, tapi tidak dengan gegap gempita. Seperti ada yang masih tertinggal di kepala penonton—sebuah pertanyaan, atau mungkin, gurunum mereka sendiri.
Dengan keberaniannya mengangkat tema yang tidak biasa, dan caranya yang halus namun menghantam, Gurunum menjelma menjadi lebih dari sekadar pertunjukan pendek. Ia adalah cermin kecil yang memantulkan kenyataan yang sering kita abaikan—tentang seni, seniman, dan suara-suara kecil yang sebenarnya paling jujur.